Monday, June 25, 2007

Boikot Perusahaan Keluarga Sjamsul Nursalim

Link PT Mitra Adhi Perkasa

Ingat Merek2 ini... Jangan Sampai salah konsumsi

x Starbucks x Burger King x Pizza Marzano
x Courtyard
x Spice Garden

x Foot Gear x Golf House x Rockport
x Sports Warehouse x Soccer Station
x The Athlete's Foot











Salah satu cara menunjukkan sikap anti korupsi ialah dengan berhenti mengkonsumsi barang dagangan hasil korupsi

Dikutip dari Majalah Tempo 25 Juni 2007

Berputar di Keluarga Nursalim

Tim investigasi BPPN menemukan sejumlah pelanggaran kucuran kredit BDNI US$ 607 juta ke perusahaan afiliasi di luar negeri.

DOKUMEN 99 halaman itu bertajuk Lampiran Laporan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ke Kejaksaan Agung mengenai PT Bank Dagang Nasional Indonesia. Isinya menyangkut berbagai indikasi pelanggaran kredit oleh bank eks milik Sjamsul Nursalim itu, sebelum dibekukan pada Agustus 1998.

Pelanggaran menyangkut pengucuran kredit triliunan rupiah ke berbagai perusahaan afiliasi di dalam dan luar negeri di luar batas maksimum pemberian kredit. Khusus yang ke luar negeri, dilacak oleh tim forensik audit BPPN bersama lembaga investigasi internasional, Business Fraud Solutions (BFS), yang dikontrak pada 13 Agustus 1998.

Dari pelacakan sebulan penuh, BFS menemukan sejumlah transaksi ganjil terkait transfer dana pencairan kredit US$ 607,5 juta (sekitar Rp 5,5 triliun) melalui BDNI cabang Kepulauan Cook dan Cayman ke 10 perusahaan Nursalim di Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.

Lebih dari separuh dana itu (US$ 386,5 juta) dicairkan dalam 21 kali pengiriman ke rekening East Asia America Capital di Chase Manhattan Bank, New York, Amerika Serikat. Sisanya ditransfer ke lima bank lain di Singapura dan Taipei, sebelum akhirnya seluruh dana itu parkir di 10 perusahaan tersebut.

Dari penelitian, diduga sebagian akad kredit fiktif. Indikasinya, 17 dari 39 total transfer melanggar prosedur: persetujuan dan perjanjian kredit baru dibuat setelah dana ditransfer (lihat tabel).

Proposal kredit disiapkan Laurensia Sally Lawu sebagai Kepala BDNI Cabang Cook Islands dan Cayman Islands. Kredit disetujui Sjamsul dan Husni Ali, keponakan Itjih Nursalim—istri Sjamsul. Pencairan ditangani Michelle Liem, putri tertua Sjamsul, bersama Lim Min Lin, orang dekat keluarga dan bekas guru anak-anaknya.

Ternyata East Asia dan berbagai perusahaan itu terkait keluarga Sjamsul. Sebanyak 80 persen saham East Asia dimiliki Ban Hin Leong Co. Ltd. Sisanya milik Michelle dan Wai Hop Co. Ltd.

Meski data terbaru menyebutkan Ban Hin Leong milik Ng Oi Wan (90 persen) dan Chan Sau Mei (10 persen), hingga November 1997—saat dana ditransfer—perusahaan ini masih dikuasai penuh Sjamsul dan Itjih. Keduanya direktur di East Asia. Sjamsul, Itjih, Michelle, dan adiknya, Cherie Nursalim, juga pemilik banyak perusahaan penerima kredit itu.

East Asia beralamat sama dengan BDNI Finance Hong Kong: 3605 Shun Tak Center West Tower 200, Connaught Road Central. Debitor di Hong Kong dan Singapura juga mondok di alamat serupa.

Dari setumpuk bukti itu, sulit dimungkiri aliran kredit pada akhirnya berujung pada keluarga Sjamsul sendiri.

Metta Dharmasaputra

Transfer BDNI ke Rekening East Asia

* Transfer dana dilakukan oleh BDNI ke rekening East Asia America Capital

No. 544-0-36415 di Chase Manhattan Bank (Chemical Bank), New York (AS).

Kecuali untuk Seyen Machinery (4 Oktober 1997) ke United World Chinese Commercial Bank (Taiwan). Sedangkan untuk Broad Bay Ltd. (23 Oktober 1997) tidak dicantumkan ke bank mana.

Kemilau Bisnis Keluarga Sjamsul

Bisnis keluarga Sjamsul Nursalim membentang di kawasan Asia Pasifik.

PADA awal Juli nanti, Kota Melbourne akan semakin mengkilap. Hotel Grand Hyatt Australia akan menambah sinar-binar kota itu dengan rencana hajat gede-gedean. Yang punya kantong gemuk untuk menggosok hotel ini tak lain dari keluarga Sjamsul Nursalim, taipan asal Lampung yang kini bermukim di Grange Road, sebuah kawasan mewah di Orchard Road, Singapura.

Dengan anggaran A$ 40 juta atau sekitar Rp 303 miliar, mereka akan merenovasi besar-besaran hotel bintang lima ini. Rencananya, lampu hiasnya karya desainer lampu kelas dunia David Singer, dan karpetnya berdesain khas Australia. Sebuah glass-ceiling alias atap berlapis kaca akan menyambut tamu di lobi hotel. Di lokasi pameran dipajang berbagai produk top internasional. Pokoknya, pada saat perayaan karnaval musim semi tahunan pada Oktober 2008, Grand Hyatt berobsesi memperjelas posisi sebagai hotel berkelas di jantung Melbourne itu.

Selain Grand Hyatt Melbourne, ada empat hotel bintang lima lain milik penguasa jaringan hotel terpandang di Australia, Grand Hotel Group. Itu belum termasuk beberapa hotel bintang tiga dan empat.

Melalui Tuan Sing Holdings—grup bisnis yang dikendalikan keluarga Sjamsul Nursalim—mereka mendongkrak kepemilikannya di Grand Hotel dari 25 persen menjadi 95,55 persen. Berkongsi dengan Morgan Stanley Real Estate, Tuan Sing tak ragu mencurahkan duit Rp 2,6 triliun untuk menguasai jaringan hotel ini.

”Grand Hotel sangat menguntungkan,” ujar David Lee Kay Tuan, Kepala Eksekutif Tuan Sing, dalam rilis pers. Menurut menantu Sjamsul itu, kinerja perusahaan yang terdaftar di bursa Australia ini cukup moncer. Labanya pada semester pertama 2006 melonjak hampir tiga kali lipat menjadi A$ 45,2 juta (Rp 340 miliar) dari tahun sebelumnya A$ 17 juta (Rp 128 miliar).

Usaha perhotelan sesungguhnya hanya satu mata rantai bisnis Tuan Sing. Kelompok bisnis itu punya aset Rp 3,4 triliun dan mengontrol lebih dari 80 perusahaan yang tersebar di kawasan Asia-Pasifik, dari Singapura, Malaysia, Indonesia, Cina, hingga Australia. Di grup ini, kedua putri Sjamsul Nursalim, Liem Mei Kim dan Michelle Liem, memiliki 45,55 persen saham. Sedangkan Sjamsul (Liem Tek Siong) dan istrinya, Itjih (Go Giok Lian), memegang 7,25 persen saham.

Langkahnya yang agresif membuat imperium bisnis Tuan Sing kian berjaya, membentang dari properti, ban, karet, batu bara, pembalut, popok bayi, hingga produk teknologi. Di sektor properti, mereka baru saja melelang apartemen eksklusif Botanika di Singapura dengan harga Rp 17-40 miliar per unit. Ini makin mengukuhkan posisinya sebagai pengembang properti prestisius di Singapura, Cina, dan Australia.

Di Indonesia, bisnis keluarga Sjamsul juga kian meraksasa. Tengok kerajaan bisnis Boyke Gozali, keponakan Sjamsul, melalui PT Mitra Adi Perkasa Tbk. Salah satu perusahaan retail ini menggaet Sogo, Debenhams, Seibu, Starbucks, Burger King, Reebok, Golf House, Zara, Calvin Klein, Mark and Spencer, dan Kidz Station. ”Namun Mitra Adi Perkasa tidak ada kaitan dengan Sjamsul,” ujar Ratih D. Gianda, Kepala Grup Hubungan Investor Mitra Adi Perkasa, beberapa waktu lalu.

Akan halnya Sjamsul, meski ia tak lagi muncul di banyak perusahaan, cengkeramannya masih terasa. Setidaknya di sejumlah aset yang dulu diserahkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional untuk melunasi utangnya Rp 28,4 triliun. Misalnya di PT Gajah Tunggal. Perusahaan ini sekarang dikendalikan Denham Pte Ltd dari Singapura dan Lightspeed Resources Ltd yang berbasis di British Virgin Islands.

Tak jelas siapa pemilik Denham dan Lightspeed. Tapi posisi kunci Gajah Tunggal dipegang tangan kanan Sjamsul. Dr Enk E. Tan, menantunya, menempati posisi wakil presiden direktur di perusahaan ban termasyhur di Asia Tenggara itu. Mulyati Gozali, sang keponakan, juga duduk di kursi wakil presiden komisaris. ”Itu indikasi jelas siapa pengendali sesungguhnya,” ujar Kwik Kian Gie, Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid.

Indikasi lain adalah ciri khas bisnis Sjamsul sejak masa Orde Baru: mengangkat mantan jenderal di posisi puncak perusahaannya. Sebut saja bekas Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana (Purn.) R. Kasenda dan mantan Panglima Kostrad Jenderal (Purn.) Wismoyo Arismunandar yang pernah duduk di posisi manajemen. Lalu giliran mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen (Purn.) Sang Nyoman Suwisma dan mantan Kepala Polri Jenderal (Purn.) Dibyo Widodo yang menduduki kursi komisaris dan presiden komisaris di Gajah Tunggal. ”Ya, itu kan penghormatan kepada mereka,” ujar pengacara Sjamsul, Maqdir Ismail.

Heri Susanto









7 comments:

Anonymous said...

kok cuma sjamsul nursalim aja ? di

zaman orba kan banyak tuh

konglomerat yg kkn, jd gmn nih apa

'bca', 'indomie' dan produk2

lainnya jg ikut dimasukkan ke dalam

daftar boikot ?


wassalam,
dragon lim

Anonymous said...

Yang udah pasti2 dulu aja..sementara emang baru itu... boikot Bakrie (lapindo) juga boleh dimulai...

Unknown said...

Ya itu kan cerita pengusaha-pengusaha yang pernah bermasalah dengan BLBI, Nah bagaimana dengan pejabat2 yang terkait atau mungkin saja yang kong kalikong dengan para konglomerat bermasalah, ekspose dong.

Unknown said...

Aku gak setuju kalau perusahaan group MAP di boikot, bagaimana dengan pekerja2 yang sekarang hidup dan mencari nafkah di perusahaan tersebut. Jadi menurut saya pikirlah dengan akal yang sehat, rakyat dan orang banyaklah yang jadi korban juga. Negara kita negara hukum, biarlah hukum berjalan. Memboikot berarti menghacurkan pundi dan pondasi perekonomian bangsa

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Memboikot perusahaan yang ada di negeri ini dan milik orang Indonesia itu sama saja membunuh perekonomian bangsa, apalagi disaat ini Negara Indonesia membutuhkan investasi dan investor baru untuk membuka luas lapangan kerja. Mohon Temen, saudara sebansa...Janganlah kita memiliki niat, sifat dan pikiran tidak baik untuk boikot memboikot perusahaan apapun isunya hanya untuk sebuah kebencian. Mari kita selalu berfikir positif untuk membangun Negara ini. Semoga Rakyat adil makmur sentosa terwujud....amin

Anonymous said...

lu pikir itu doang bisnisnya ? ban yang lu pake apa sekarang ? GT Radial itu produksi gajah tunggal, bisnis dia juga..